Minggu, 16 Mei 2010

belajar bermain api

Seperti apa saya belajar? Saat ini saya tengah belajar.
Saya adalah ‘murid’ dari kesalahan, saya mengambil pelajaran dari setiap apa yang menjadi kesalahan saya… dan disinilah saya, saat ini, tepat saat ini, saya sedang ‘belajar’… saya melakukan kesalahan besar, dan saya bermain api… saya pelaku eksperimen yang jahat dan membahayakan… bahkan sekarang –pada titik akhir- saya tidak tahu harus seperti apa menyudahi perjalanan pembelajaran saya di bab ini…

Saya analogikan seperti ini,

Saya adalah seorang anak kecil yang sama sekali belum p[ernah melihat langsung wujud api.
Pada suatu saat, teman sepermainan saya membawa korek api gas milik ayahnya, dan dia menunjukkannya kepada saya, teman saya juga belum pernah melihat api secara langsung selama hidupnya, maka kami berdua sama-sama penasaran dan ingin tahu bagaimana wujud api yang selalu ayah dan ibu kami nasehatkan kepada kami untuk sama sekali tidak bermain-main dengan api.


Kami tidak tahu bagaimana menghidupkan korek api itu, maka kami lempar-lemparkan ke tanah –dan sama sekali kami tidak tahu bahwa korek api itu bisa meledak jika dibanting—tidak menyala. Lalu kami meniup-niupnya, tidak menyala. Lalu dengan seksama, mata kami menyapu ke seluruh badan korek itu, dan ada tombol kecil disana… lalu saya tekan, dan burrrsst… menyala!


Hampir saja api itu mengenai mata saya. Tapi teman saya tidak seberuntung saya, jarinya tersambar api dan melukainya… saya yang melakukan, dan dia yang terluka! ya, dan akhirnya kami tahu bagaimana rupa api, bagaimana api ternyata bisa melukai dia, dan bagaimana kami akhirnya tersadar mengapa orang tua kami selalu dan selalu menasehati hal yang sama tentang bermain api…


Dan ya, memang lalu kami takut untuk bermain api lagi, hanya sekedar tahu bagaimana wujudnya, lalu rasa penasaran kami hilang setelah tahu dan terkena akibatnya. Ternyata api bukan untuk kami anak-anak kecil yang masih ceroboh dan selalu ingin tahu… ternyata memang kami harus menjauhi api.


Baguslah, sekarang kami akhirnya tahu. Walaupun masih tersisa luka bakar di jari teman saya itu, dan saya yakin pasti akan selalu ada bekas luka itu disana, tapi yang penting kami akhirnya tahu… kami akhirnya belajar. Suatu pembelajaran yang menyisakan bekas luka sampai nanti…


Lalu setelah kejadian itu, korek api itu masih saja ada disekitar area bermain kami, seperti selalu ‘mengajak bermain’ : dengan sedikit membakar-bakar kertas, atau hanya sekedar menyalakannya.


Tapi kami sama sekali enggan menyentuh lagi. Karena luka jari teman saya belum sembuh. Karena api bukan hal yang bagus untuk kami ajak bermain….


Haruskah membuat luka di jari yang tidak dapat hilang, hanya untuk mengetahui bahwa api itu ‘tidak baik’ untuk kami?