Sabtu, 28 November 2009

dia jengkel, saya... syok!

jengkel.
masih jengkel.
seberapa jengkel? sangat jengkel, dia bilang.
sangat tidak suka.
lalu apa?

apa yang bikin dia jengkel?
ah masa bodoh.
yang penting dia jengkel.
dengan apa yang saya kerjakan.

semua kata2 yang selama ini tertahan,
tumpah menyembur kemukaku.
wow. dan itu sangat tidak terduga.

entah.
ternyata dia punya kata2 seperti itu
apalagi untukku!
mengejutkan...
benar2 mengejutkan.
dan dia jengkel.

dia jengkel.
saya... syok!

Rabu, 25 November 2009

jangan menonton saya (!)

sudah, biarkan saya berlakon
menyusun tiap scene sendiri
berkata tiap kalimat, tanpa script.

saya tidak harus seperti ini atau itu.
anda tidak membuat aturan bagi saya.
ini panggung saya.
biarkan saya berperan...

anda jangan menonton saya,
jangan menilai saya.
anda bukan penonton yang baik,
bahkan anda belum berperan dalam lakon anda sendiri,
bagaimana anda bisa menonton saya?

maaf terdengar egois,
tapi saya bermain bagi diri saya.
bermain bagi orang2 yang satu panggung dengan saya.
orang2 yang ada dalam cerita saya...

saya mencoba memuaskan mereka,
dan bukan anda.
sekali lagi, bukan anda!

jadi jangan menilai...
jangan menonton.
jangan tertawa,
dan jangan berkomentar.

ABC ( baby, you and me )



"... ABC is easy as 123, as simple as do re mi...
ABC... 123... baby, you and me... "

"saya" memandang "dia"

hanya sebatas, kamu mempercayai dia ada.
sebatas itu, tanpa menyebutnya maha ini atau maha itu.
dia ini atau dia itu.
tidak mempertentangkan dia laki-laki atau perempuan.
benar.. percayai saja.

tanpa harus membunuhnya, seperti Nietzsche membunuhnya.
biarkan dia hidup.
setidaknya, sebatas iman kita.

mungkin saya agnostis.
biarkan seperti itu.
daripada saya mendefinisikan dia,
dan akirnya malah membuat diri saya sendiri kecewa,
jika dia ternyata tidak seperti apa yang saya deskripsikan.

saya, mempercayainya.
mengimaninya.
tanpa harus melabelinya.

sedikt tentang tugas filsafat Sosial

Jean Paul Sartre : Hubungan antar manusia

Jean Paul Sartre dikenal sebagai filsuf eksistensialisme. Sartre lahir di Paris pada tahun 1905. Sartre terkenal dengan gagasan bahwa manusia terhukum bebas. Kebebasan ini berhubungan dengan L’etre pour soi ( berada untuk diri ) yaitu salah satu bentuk eksistensi manusia. “ berada untuk diri “ sama artinya dengan kebebasan, karena melalui berada untuk diri manusia ingin mencapai sesuatu “yang belum ada”, atau yang pada saat itu “tidak ada”, yang lebih mudah disebut sebagai : tujuan masa depan. Sehingga kebebasan disini adalah dalam artian, dapat melakukan kegiatan, melakukan pekerjaan untuk mencapai tujuan yang sudah kita tetapkan pada diri kita sendiri untuk kita capai dan kita wujudkan.
Namun dengan ekstrim kebebasan tersebut digambarkannya sebagai keinginan untuk menguasai kebebasan orang lain, yang diungkapkannya dengan: “ aku ingin memperbudak orang lain dan kebebasan orang lain, hanya itu yang memuaskan diriku “ ( Misnal Munir, 2008 : 107 ). Dari sini sudah dapat menggambarkan bahwa bagi Sartre, menempatkan “aku” sebagai subyek atas orang lain adalah yang paling penting. Dan tujuan hubungan antar manusia adalah menempatkan orang lain sebagai obyek. Dengan menempatkan dirinya sebagai subyek maka dengan kata lain, orang lain yang menjadi obyek bagi diri kita akan “tunduk” kepada kita. Namun, sebuah konflik muncul. Bahwa kenyataannya bukan hanya kita sendiri yang bertujuan menempatkan diri sebagai subyek bagi orang lain, karena orang lainpun akan memiliki tujuan yang sama yaitu menempatkan dirinya menjadi subyek dan memungkinkan kita berada di posisi sebagai obyeknya. Disini akan menimbulkan suatu “pertandingan” dimana yang satu akan menjatuhkan yang lain, menempatkan dirinya masing-masing berada di posisi subyek, dengan menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Ini didukung pula akan pernyataan Sartre yang mengatakan bahwa : “ hormat kepada kebebasan orang lain merupakan dunia yang hampa. Kita terlempar ke dunia yang berhadapan dengan orang lain.” Dengan eksistensi kita, kita mampu membatasi kebebasan orang lain. ( Misnal Munir, 2008 : 107 ). Sarana yang dianggap penting dalam kompetisi ini adalah yang disebut sebagai “sorot mata”. Yaitu, orang lain yang menonton “saya”, mengobservasi “saya” sehingga demikian dapat mengobyektivasi “saya” ( K. Bertens, 2001: 101 ).
Jika dengan ‘kompetisi’ satu lawan satu tidak berhasil menundukkan salah satu menjadi obyek bagi yang lainnya, maka cara lain yang dipakai adalah dengan kompromi. Dimana saya bersama-sama dengan orang lain menjadi kelompok ( nous-objet ) melawan orang ketiga yang kami anggap sebagai musuh. Dimana hal ini memunculkan 2 kemungkinan pada hasil akhirnya, yaitu ; kami akhirnya menjadi obyek atau pihak lain ( musuh ) yang menjadi obyek bagi kami. Tentu saja, cara yang kedua ini akan menjadi suatu kekuatan yang cukup besar. Namun masalahnya apabila, pihak musuh juga melakukan suatu kompromi yang sama, membentuk suatu kelompok yang tidak kalah besarnya. Sehingga disini akan timbul suatu kompetisi antara dua kekuatan besar yang saling menjatuhkan, lalu apabila terdapat kelompok lain yang masuk dalam kompetisi ini maka akan terjadi suatu kekacauan sangat besar yang mana tentu saja akan melahirkan imbas yang besar dalam kehidupan bersama.
Namun walaupun demikian, Sartre tidak memungkiri bahwa dalam kenyataan ( faktisitas ) manusia harus berada dengan sesame manusia lainnya ( yang juga memiliki kebebasan yang sama ) sehingga tidak dapat dihindari bahwa mereka dapat hidup bersama. ( Misnal Munir, 2008 : 105 ). Manusia dapat merealisasikan dirinya sebagai manusia hanya dengan mengalami kebersamaan dengan manusia lain. Singkatnya, manusiapun “ ada untuk yang lain “ ( being-for-others) ( Dwi Siswanto, 2008 : 67 ). Dengan kata lain bahwa Sartre menyadari dalam kehidupan bersama terdapat masyarakat, namun nampaknya masyarakat disini adalah masyarakat yang penuh dengan konflik, saling menjatuhkan, dan tujuan yang akan dicapai dalam masyarakat adalah tujuan yang berbed-beda ( tujuan individu per individu ) bukannya tujuan yang sama yang ingin dicapai dengan kebersamaan. Bahkan nampaknya, dengan pandangan Sartre akan subyek-obyek dalam hubungan antar manusia tersebut, nilai-nilai yang seharusnya ada didalam sosietas ( tolong menolong, hormat menghormati, toleransi, dll ) perlahan-lahan ‘dibungkam’ dan ditiadakan. Karena bagi Sartre komunikasi atau setiap pertemuan dengan orang lain merupakan ancaman bagi eksistensinya ( Dwi Siswanto, 2008 : 67 ). Dengan demikian, dapat kita ambil sedikit kesimpulan bahwa sebenarnya manusia dalam masyarakat yang dikemukakan Sartre tersebut lebih condong kepada suatu bentuk manusia yang sangat individual, individualism yang berlebihan.

mengantri dalam pergulatan emosi

berapa kali saya selalu merasa benci mengantri.
terakhir mengantri adalah beberapa hari yang lalu saat saya dan adik saya, Valentina Lakhsmi, mengantri tiket nonton.
ahh, damn. rasanya... bosan.
seperti tidak ada sesuatu yang lain yang bisa saya lakukan, selain berdiri, menunggu giliran.
rasanya seperti, ehmm, kalo teman2 bilang... nyampah.
membosankan.
tapi, kalo kita udah mendapatkan sesuatu yang sudah kita "antrikan" sekian lama, rasanya... lega! bangga! tidak tahu disisi mana yang membuat saya bangga.
tapi serius... itu membanggakan. keluar antrian dengan mengibaskan tiket hasil perjuangan mengantri sekian lama! wow. oh yea!

saya jadi ingat lagi, beberapa tahun yang lalu saya juga pernah mengantri.
mengantri demi sekotak... nasi.
yea, i mean it, NASI!
waktu itu, saya dan papa mengikuti suatu tour motor.
diakhir acara, peserta mendapatkan tiket untuk ditukarkan nasi kotak.
waktu itu papa menyuruh saya menukarkannya. waw. what the damn!
banyak orang berdesakan, saling berebut sekotak nasi. dan bagian terparahnya adalah, saya ada diantara mereka!
bau badan, bau kaki, bau nafas... benar2 bau berada diantara orang2 itu. menyebalkan.
waktu itu saya berfikir, " untuk apa papa menyuruh saya melakukan ini, menukarkan tiket demi sekotak nasi?? padahal papa bisa membelinya 100 kali lipat!! tanpa harus melakukan seperti ini. "
saya mengumpat. terus mengumpat. benar2 mengantri yang penuh umpatan.
dan beberapa lama setelah terjebak dalam bau2an itu, akirnya saya 'memenangkan' sebuah kotak nasi. apa yang saya rasakan? LEGA! o yea, saya menang!!
setelah kembali ke papa, dan menyodorkan kotak itu ke papa, papa menyuruh saya memberikan kotak itu ke seorang kakek2 peminta-minta yang duduk tidak jauh dari papa berdiri.
oh gosh?!
saya sedikit merasa... aakhht. kesal, menyesal, ikhlas, iba, bangga, lega... semuanya.
saya melakukan apa yang papa suruh. dan kakek2 itu berterima kasih, sampai membungkuk2, lalu memakannya... dengan lahap.
dan apa yang saya rasakan? tidak tahu. no comment.
but one thing i know for sure, that my tears fall down.
saya merasakan, kemenangan. kelegaan. kebanggan. yang luar biasa...

ah, mengantri.
entah... saya harus benci mengantri, atau senang mengantri.
sama-sama mempermainkan emosi saya.
...

Sabtu, 07 November 2009

menyesal.

saya menyesal.
menyesal melakukannya.
ternyata menyesakkan.

saya harus meminta maaf.
saya tidak ingin sesal menyesaki saya.

saya menyesal.
ternyata...
melakukannya, membuat saya menangis.
tidak melakukannya, membuat saya menangis.

tapi sudah terjadi.
menyesal.
sudah menangis pula.
jadi, sebaiknya adalah "maaf".

ah, sesal...
sesal dan menyesak.
sesak dan menyesal.

maaf...

crying all the day

menangis beberapa hari ini.
tangis untuk mereka,
orang-orang tercinta.

ungkapan cinta mendalam,
yang terlarut dalam air mata.

seharusnya tidak dengan menangis.
tapi...
bagi saya memang sebaiknya dengan menangis.
karena kata-kata sedang bersembunyi dari saya,
mereka susah dicari.
tak ingin saya temukan.

Jumat, 06 November 2009

stop barking (!)

Apa salahnya menjadi beda?
Toh Tuhan mengerti.
Saya tidak butuh anda mengerti pula.

Pernah mendengar seorang yang tidak tamat SD menjadi juragan,
Dan lulusan insinyur menjadi pengangguran?
Seorang dokter tetap menjadi dokter,
Dan seorang sarjana filsafat menjadi anggota DPR?

Siapa yang tahu akan menjadi bagaimana?
Siapa yang peduli seberapa jauh kita berbeda.
Entah seperti apa, toh bukan urusan mereka.
Bukan urusan saya.

Hanya…
Mari coba berhenti menggonggong.
Kenyataan bukan untuk diperbandingkan.
Tapi untuk berkaca… untuk dimengerti.

Tapi jika anda belum melihat kenyataan,
Sepertinya terlalu congkak,
Jika anda menilai apa yang belum pasti anda mengerti.

Nasib seseorang siapa yang tahu?
Toh bukan tergantung atas prediksi.
Prediksi dari akal yang terlalu sempit,
Dan mata yang terlalu sipit,
Karena tersilau kebanggaan apa yang kini kita lakukan,
Yang belum pasti juga akan membawa kita lebih tinggi.


Lebihlah mengerti.