Jean Paul Sartre : Hubungan antar manusia
Jean Paul Sartre dikenal sebagai filsuf eksistensialisme. Sartre lahir di Paris pada tahun 1905. Sartre terkenal dengan gagasan bahwa manusia terhukum bebas. Kebebasan ini berhubungan dengan L’etre pour soi ( berada untuk diri ) yaitu salah satu bentuk eksistensi manusia. “ berada untuk diri “ sama artinya dengan kebebasan, karena melalui berada untuk diri manusia ingin mencapai sesuatu “yang belum ada”, atau yang pada saat itu “tidak ada”, yang lebih mudah disebut sebagai : tujuan masa depan. Sehingga kebebasan disini adalah dalam artian, dapat melakukan kegiatan, melakukan pekerjaan untuk mencapai tujuan yang sudah kita tetapkan pada diri kita sendiri untuk kita capai dan kita wujudkan.
Namun dengan ekstrim kebebasan tersebut digambarkannya sebagai keinginan untuk menguasai kebebasan orang lain, yang diungkapkannya dengan: “ aku ingin memperbudak orang lain dan kebebasan orang lain, hanya itu yang memuaskan diriku “ ( Misnal Munir, 2008 : 107 ). Dari sini sudah dapat menggambarkan bahwa bagi Sartre, menempatkan “aku” sebagai subyek atas orang lain adalah yang paling penting. Dan tujuan hubungan antar manusia adalah menempatkan orang lain sebagai obyek. Dengan menempatkan dirinya sebagai subyek maka dengan kata lain, orang lain yang menjadi obyek bagi diri kita akan “tunduk” kepada kita. Namun, sebuah konflik muncul. Bahwa kenyataannya bukan hanya kita sendiri yang bertujuan menempatkan diri sebagai subyek bagi orang lain, karena orang lainpun akan memiliki tujuan yang sama yaitu menempatkan dirinya menjadi subyek dan memungkinkan kita berada di posisi sebagai obyeknya. Disini akan menimbulkan suatu “pertandingan” dimana yang satu akan menjatuhkan yang lain, menempatkan dirinya masing-masing berada di posisi subyek, dengan menempuh berbagai cara untuk mewujudkan hal tersebut. Ini didukung pula akan pernyataan Sartre yang mengatakan bahwa : “ hormat kepada kebebasan orang lain merupakan dunia yang hampa. Kita terlempar ke dunia yang berhadapan dengan orang lain.” Dengan eksistensi kita, kita mampu membatasi kebebasan orang lain. ( Misnal Munir, 2008 : 107 ). Sarana yang dianggap penting dalam kompetisi ini adalah yang disebut sebagai “sorot mata”. Yaitu, orang lain yang menonton “saya”, mengobservasi “saya” sehingga demikian dapat mengobyektivasi “saya” ( K. Bertens, 2001: 101 ).
Jika dengan ‘kompetisi’ satu lawan satu tidak berhasil menundukkan salah satu menjadi obyek bagi yang lainnya, maka cara lain yang dipakai adalah dengan kompromi. Dimana saya bersama-sama dengan orang lain menjadi kelompok ( nous-objet ) melawan orang ketiga yang kami anggap sebagai musuh. Dimana hal ini memunculkan 2 kemungkinan pada hasil akhirnya, yaitu ; kami akhirnya menjadi obyek atau pihak lain ( musuh ) yang menjadi obyek bagi kami. Tentu saja, cara yang kedua ini akan menjadi suatu kekuatan yang cukup besar. Namun masalahnya apabila, pihak musuh juga melakukan suatu kompromi yang sama, membentuk suatu kelompok yang tidak kalah besarnya. Sehingga disini akan timbul suatu kompetisi antara dua kekuatan besar yang saling menjatuhkan, lalu apabila terdapat kelompok lain yang masuk dalam kompetisi ini maka akan terjadi suatu kekacauan sangat besar yang mana tentu saja akan melahirkan imbas yang besar dalam kehidupan bersama.
Namun walaupun demikian, Sartre tidak memungkiri bahwa dalam kenyataan ( faktisitas ) manusia harus berada dengan sesame manusia lainnya ( yang juga memiliki kebebasan yang sama ) sehingga tidak dapat dihindari bahwa mereka dapat hidup bersama. ( Misnal Munir, 2008 : 105 ). Manusia dapat merealisasikan dirinya sebagai manusia hanya dengan mengalami kebersamaan dengan manusia lain. Singkatnya, manusiapun “ ada untuk yang lain “ ( being-for-others) ( Dwi Siswanto, 2008 : 67 ). Dengan kata lain bahwa Sartre menyadari dalam kehidupan bersama terdapat masyarakat, namun nampaknya masyarakat disini adalah masyarakat yang penuh dengan konflik, saling menjatuhkan, dan tujuan yang akan dicapai dalam masyarakat adalah tujuan yang berbed-beda ( tujuan individu per individu ) bukannya tujuan yang sama yang ingin dicapai dengan kebersamaan. Bahkan nampaknya, dengan pandangan Sartre akan subyek-obyek dalam hubungan antar manusia tersebut, nilai-nilai yang seharusnya ada didalam sosietas ( tolong menolong, hormat menghormati, toleransi, dll ) perlahan-lahan ‘dibungkam’ dan ditiadakan. Karena bagi Sartre komunikasi atau setiap pertemuan dengan orang lain merupakan ancaman bagi eksistensinya ( Dwi Siswanto, 2008 : 67 ). Dengan demikian, dapat kita ambil sedikit kesimpulan bahwa sebenarnya manusia dalam masyarakat yang dikemukakan Sartre tersebut lebih condong kepada suatu bentuk manusia yang sangat individual, individualism yang berlebihan.
Hi, Yohana... Disini juga Yohana. :)
BalasHapusNice writing of you...
Boljug lah...
Kapan2 kalo ada waktu mampir ke akudanintermezzosesaat.blogspot.com ya...
Gb.