Jumat, 19 Maret 2010

labelling


Like father – like son
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.


Jujur, saya tidak tahu banyak soal gen bawaan, gen yang menurun, atau apalah itu… so then saya tidak akan berbicara tentang itu dan semacamnya.

Banyak orang bilang, “ pantas dia pintar, bapak ( atau ibunya ) juga pintar sih… “ atau,
“ wah, dia santun ya kaya ayahnya. “ atau celetukan apalah yang semacam itu…
Oke, ungkapan-ungkapan itu masih sangat bisa diterima. Yaa... dengan alasan apapun : gen-lah, didikan lah, bla bla bla. Lagian siapapun yang dibilang seperti itu, normalnya bangga kan? Bangga menjadi orang yang pintar, atau bangga menjadi orang yang santun, atau bangga memiliki ayah/ibu yang pintar atau santun... kan?

Tapi banyak juga pola pikir orang-orang yang kaya gini, ” ih... jangan dekat-dekat dia, ayahnya seorang pencuri! Siapa tau dia juga pencuri! ” atau,
” jangan sampe anak gadisku dekat-dekat dengan pemuda itu, ibunya kan suka selingkuh! Jangan-jangan nanti kalo anakku sama dia, sering ditinggal selingkuh juga! ”
Well, siapa yang mau dibilang seperti itu??

Saat kita ’diputuskan’ untuk hidup di dunia, kita ngga bisa milih tanggal berapa kita lahir, atau milih dilahirkan di keluarga miskin atau kaya, dan juga kita ngga bisa milih ke orang tua yang seperti apa... apakah mereka pencuri, pembohong, bodoh, dsb.... atau mereka yang pintar, santun, terhormat. Dsb. Ya, ya... kalaupun bisa milih pun kita akan memilih semaksimal mungkin... tapi, in fact, memang pilihan itu ngga pernah tersedia di depan kita....

Nah, kasian banget kita yang lahir ke orang tua yang ( kebetulan ) pembunuh, tukang selingkuh, pencuri, bla bla bla... kan? Kita lahir dengan label ’ anak (sebut saja ) pencuri ’... tanpa kita bisa menawarnya. Kita menjadi korban dari ’keputusan’ yang kita tidak pernah bisa ikut campur dalam pengambilan pilihannya.

Kenapa kita harus selalu menjadi proyeksi seperti apa orang tua kita berdiri? 
Selalu ikut terlabeli pada hal-hal yang tidak seharusnya kita mendapatkannya?
Label-label itu, menyempitkan ruang eksistensi dan ruang kehendak kita sebagai mahluk bebas... kita jadi susah buat menunjukkan jati diri kita yang sebenarnya.

Yah, ngga akan pernah ada ujungnya jika selalu mempertanyakan rasa ’ketidak adilan karena tidak bisa memilih’ itu. Yang ada sekarang, adalah yang nyata. oke, jika ternyata kita ada di pihak yang ’unlucky’ itu, ngga ada gunanya meratapi... well, mungkin kita si ’unlucky’ tidak merasa orang tua kita membanggakan, tapi jadikan mereka ’guru’. Tanpa kata-kata, ambil pelajaran.

Labelling. Mungkin ngga semua dari kita merasakan,
Tapi itulah yang ada didalam kenyataan.

2 komentar:

  1. Begitulah kenyataan. Dan benar tiada guna meratapi.

    BalasHapus
  2. yup, kita harus2 pandai2 menilai orang dan menyikapi penilaian orang lain :)

    BalasHapus