aku tidak mengerti kamu,
seperti kamu juga tidak mengerti aku.
kamu seperti 2 pribadi dalam 1 tubuh.
membingungkanku.
aku tidak mengenalmu.
aku hanya mengenal 1 pribadimu.
tidak mengenal pribadi yang 1 lagi.
lalu masih bisakah aku disebut mengenalmu?
*karena aku tidak tahu,
yang mana sebenarnya pribadimu.
haha. kawan...
kamu aneh. kita aneh.
harus seperti apa kita berteman?
entah, terserah sajalah.
aku sudah menyerah.
Sabtu, 26 Juni 2010
Sabtu, 19 Juni 2010
teman: janji, maaf, dan cinta.
hidup seperti ini banyak dicintai dan mencintai,
banyak tersakiti dan lebih banyak menyakiti...
apalagi yang bisa dikerjakan jika sudah terlalu menyakiti? kata "maaf" tidak masuk didalam daftar saya. "maaf" sudah kehilangan esensinya. "maaf" ini sekarang hanya sekedar kata, bukan lagi suatu "pertobatan".
[sudah terlalu lama. sangat lama.
semenjak saat itu.]
anda teman saya, seharusnya saya tidak menyakiti anda seperti ini.
kita hanya terbelenggu, kita tersesat. ini labirin kata-kata...
kita saling berkata-kata, tanpa tahu bagaimana menyudahi.
tidak tahu, dimana harus menempatkan titik.
dan lagi kemudian kita tersedot lubang. yaya, sebut saja lubang hitam.
biar terdengar keren, seperti yang selalu anda ingin.
lubang hitam ini adalah lubang perasaan.
banyak perasaan cinta disana. hah.
lucu memang...
sejoli sahabat bermain kata-kata mengenai cinta.
kita bermain.
lalu terlibat.
akhirnya menyakiti. ada yang tersakiti.
atau kadang kita sama-sama disakiti...
tapi kebanyakan anda yang tersakiti,
dan saya tersangka...
hah, rumit. ini rumit, kawan.
siapa salah? kita salah.
siapa yang harus minta maaf? entah.
maaf tak berlaku bagi kita lagi nampaknya.
janji lah yang masih ampuh untuk kita.
anda yang lebih berani berjanji,
dan saya tidak.
saya cemen. oke, memang benar.
tapi saya mulai saat itu tidak suka lagi dengan janji.
entah kenapa.
janji dan maaf
2 kata yang tabu untuk saya, kawan.
yasudahlah,maaf
oops.
maksud saya : sesal.
untuk seorang teman.
cinta.
banyak tersakiti dan lebih banyak menyakiti...
apalagi yang bisa dikerjakan jika sudah terlalu menyakiti? kata "maaf" tidak masuk didalam daftar saya. "maaf" sudah kehilangan esensinya. "maaf" ini sekarang hanya sekedar kata, bukan lagi suatu "pertobatan".
[sudah terlalu lama. sangat lama.
semenjak saat itu.]
anda teman saya, seharusnya saya tidak menyakiti anda seperti ini.
kita hanya terbelenggu, kita tersesat. ini labirin kata-kata...
kita saling berkata-kata, tanpa tahu bagaimana menyudahi.
tidak tahu, dimana harus menempatkan titik.
dan lagi kemudian kita tersedot lubang. yaya, sebut saja lubang hitam.
biar terdengar keren, seperti yang selalu anda ingin.
lubang hitam ini adalah lubang perasaan.
banyak perasaan cinta disana. hah.
lucu memang...
sejoli sahabat bermain kata-kata mengenai cinta.
kita bermain.
lalu terlibat.
akhirnya menyakiti. ada yang tersakiti.
atau kadang kita sama-sama disakiti...
tapi kebanyakan anda yang tersakiti,
dan saya tersangka...

siapa salah? kita salah.
siapa yang harus minta maaf? entah.
maaf tak berlaku bagi kita lagi nampaknya.
janji lah yang masih ampuh untuk kita.
anda yang lebih berani berjanji,
dan saya tidak.
saya cemen. oke, memang benar.
tapi saya mulai saat itu tidak suka lagi dengan janji.
entah kenapa.
janji dan maaf
2 kata yang tabu untuk saya, kawan.
yasudahlah,
oops.
maksud saya : sesal.
untuk seorang teman.
cinta.
Rabu, 16 Juni 2010
mereka menyayangimu...
Untuk kamu, saudariku.
Pertentangan tengah malam itu, antara kamu versus mama dan papa… dihadapanku. Aku mendengar semuanya, dan aku menangkap semua maksudmu, dan maksud mereka. Tentang keenggananmu untuk mengikuti ujian masuk, keenggananmu tentang pilihan masa depanmu…
Aku sangat tahu, bagaimana perasaanmu. Karena dulu aku juga pernah berada tepat di posisimu. Berada tepat di titik kebimbangan, dam merasa papa-mama hanya menambah kebingunganku tanpa memberikan kejelasan jalan mana yang seharusnya aku pilih. Mama-papa menyuruhku ikut ujian masuk ini dan itu, padahal waktu itu aku sudah mendapat tempat di salah satu universitas swasta, dengan fakultas yang menjadi cita-citaku daridulu. Tapi toh akhirnya mereka menyuruhku ikut SNMPTN, tepat seperti apa yang kamu alami sekarang…. Oke, semalam kamu bilang kondisimu tidak seperti aku, tapi percayalah, aku sangat tahu apa yang kamu rasakan.
Memang bedanya, waktu itu aku tidak harus bertentang seperti kalian semalam. Karena aku tidak suka seperti itu, walaupun –sekali lagi- aku juga tidak nyaman dengan apa yang diminta mama-papa waktu itu. Dan ya, semuanya hasilnya seperti ini. Walaupun aku tidak masuk di fakultas impianku itu, tapi aku tdak menyesal. SAMA SEKALI TIDAK MENYESAL. Karena aku selalu mengingat-ingat apa yang mama bilang dulu ke aku –dan semalam mama bilang hal yang sama juga ke kamu-, bahwa semua keputusan itu ada di tangan kita, tapi Tuhan akan selalu member hal dan menunjukkan rencana terbaikNya.
Semalam kamu bilang, “ papa gampang ngomong kaya gitu, tapi papa nggak ngerti perasaanku!” –waktu itu ada mama juga disitu- dan papa diam sementara, aku tahu papa bingung harus menjawab apa, aku tahu ada kekecewaan di jeda yang dia buat…..
Tapi toh seperti yang mama bilang, mama dan papa memikirkan semuanya yang terbak untuk kamu. Sekarang mungkn kamu masih bias memikirkan egomu, mungkin kamu masih berfikir semua ini hanya arogansi papa-mama kepada kamu…. Tapi percayalah, 2 – 3 tahun ke depan, kamu tahu semua perasaan itu tidak ada gunanya….
Semalam itu, aku sangat tahu bagaimana papa sangat sabar menghadapi kamu… walaupun –aku juga tahu- ada emosi tertahan di dalam dadanya, ada kata yang ingin dia ucapkan tapi dia tahu mungkin akan memperburk suasana egomu… jujur saja, kadang aku sebal melihat papa sesabar itu menghadapi kebandelan kita… tapi begitulah,dari kesabarannya juga seharusnya kita bias mawas diri menghadapi beliau…
Jika aku boleh menceritakan sesuatu kepadamu… aku akan katakana ini : papa dan mama tidak akan menjerumuskanmu. Mereka juga tidak bermaksud ‘mempermainkan’ perasaanmu tentang pilihan-pilhan apa yang seharusnya kamu buat… mereka hanya ingin membantumu… toh pilihan akhir tetap ada ditanganmu, mereka akan menghormati apapun pilihanmu walaupun itu tidak sejalan dengan apa yang mereka harapkan. Oke, ini bukan sekedar kalimat bijaksana atau apa… aku mengatakan ini karena AKU SUDAH PERNAH MERASAKAN ITU. Aku pernah juga membuat keputusan yang aku ingini sendiri, walaupun aku tahu mereka tidak menyukai itu, dan mereka menghormati keputusanku.

Karena selama yang aku tahu, papa bukan orang yang betah untuk menunggu dan tidak melakukan apa-apa, apalagi selama beberapa jam. Dia membolos setengah hari kerja, untuk menunggui didepan ruang ujianmu… sekarang sudah sedikit pahamkah kamu bahwa dia serius mendukungmu?
Percayalah, bahwa dia pun tahu apa yang kamu rasakan… bahwa dia tahu seberapa rasa sebalmu dengan keputusan mereka yang berubah-ubah… dan mungkin juga, selain sebagai bentuk dukungan kepadamu, apa yang dilakukan papa tadi itu sebagai tanda penyesalan dia karena sebelumnya telah membuatmu sebal… tak ada yang tau…
Yang harus kamu tahu, ambil pelajaran dari ini semua… semua ini bukan Cuma tentang perasaan dan gegsimu kepada teman-temanmu… ini tentang kepercayaanmu kepada papa-mama… percayailah mereka akan selalu membimbingmu ke jalan yang terbaik, walaupun dengan cara yang mungkin tidak kamu suka… tapi percayalah, ini semua pembelajaran…
Kamis, 10 Juni 2010
rafting bersama sampah
Hei apa kabar? How’s life? Definitely great… and confusing, yes? Haha.
Kali ini saya berfikir tentang alam lingkungan kita… wow.
Minggu lalu saya rafting bersama teman-teman di sungai Elo, Magelang. Sudah ada bayangan kan seperti apa rafting? Yup. Seperti itu. Bukan Cuma mengarungi jeram-jeram, tapi di rafting kali ini saya ( baca : kami ) ‘ditumpahkan’ dari perahu. Yup. Sengaja ditumpahkan. Saya benar-benar tidak ada bayangan sama sekali adegan seperti itu, karena pada rafting saya pertama kali dulu kami tidak sampai ‘nyemplung’ seluruh badan ke sungai. Dan well, bisa bayangkan sendiri.
Honestly, saya tidak bisa berenang… oke saya terselamatkan oleh pelampung… tapi tetap saja saya minum air… air sungai yang berwarna coklat itu. Ohh yaiiks… kalau sekarang saya harus bayangkan, sya tidak percaya, saya telah-dengan-tidak-sengaja meminum air itu… bagaimana rasanya? Mantap!
Apalagi sepanjang pengarungan sebelum ditumpahkan ke sungai, banyak pemandangan di sekitar sungai yang tertangkap mata telanjang kami : orang mandi, tempat MCK tepat ditepi sungai, dan of course sampah-sampah! Saya benar-benar tidak menyangka akhirnya saya berenang bersama-sama dengan itu semua di sungai.
Oke well, saya sangat menyayangkan hal itu. Kapan sungai-sungai di Indonesia akan bersih seperti sungai Rheine atau sungai Thames? Susah memang mengubah kebiasaan hidup… seperti sudah membudaya, orang-orang mandi di sungai, buang hajat, buang air, buang sampah… hhm…
Dan pada suatu kuliah yang mmebahas tentang itu semua, akirnya terjadi diskusi panjang dan diambil kesimpulan sementara, kunci utamanya adalah kesadaran pribadi.
Tapi bagaimana suatu kesadaran pribadi bisa mengubah semuanya? Iya kalau setiap orang memiliki kesadaran pribadi yang sama, kalo tidak? Kalo anda berfikir, membuang sampah itu tidak baik bagi anda dan bagi sesama… itu kesadaran pribadi anda. Tapi apa jadinya kalau saya malah berfikir : saya buang sampah disungai tidak apalah, toh hanya sedikit… lagian soalnya kalau ikut iuran kebersihan mahal.
Ya, jatuhnya emang kesenangan pribadi… tipe orang yang berbeda. Memikirkan orang lain dan memikirkan kesenangan dirinya sendiri… jadi memang sebenarnya yangharus ditekankan adalah kesadaran kolektif… kesadaran bersama… ditetapkan apa yang harusnya menjadi misi, dan dijalankan bersama. Kalau perlu, bikin peraturan yang mengikat… peraturan bersama, kesepakatan… bukan peraturan hokum, karena sama aja hokum tidak terlalu ‘masuk’ didalam kehidupan masyarakat, terutama masyarakat tradisional… coba kalo sangsi. Sangsinya, yang membuang sampah di sungai, didenda… sepertinya orang-orang lebih mematuhi kesepakatan bersama daripada hokum yang berbelit… yah sepertinya begitu…
Memang susah membangun kesadaran kolektif ini… terutama bagi masyarakat kita…. Harus seperti apa? Well. Itu yang saya masih pikirkan… dan sepertinya jauh dari jangkauan. Yang saya tahu adalah saya tidak mau maen arung jeram lagi…
Tidak, terima kasih.
Kali ini saya berfikir tentang alam lingkungan kita… wow.
Minggu lalu saya rafting bersama teman-teman di sungai Elo, Magelang. Sudah ada bayangan kan seperti apa rafting? Yup. Seperti itu. Bukan Cuma mengarungi jeram-jeram, tapi di rafting kali ini saya ( baca : kami ) ‘ditumpahkan’ dari perahu. Yup. Sengaja ditumpahkan. Saya benar-benar tidak ada bayangan sama sekali adegan seperti itu, karena pada rafting saya pertama kali dulu kami tidak sampai ‘nyemplung’ seluruh badan ke sungai. Dan well, bisa bayangkan sendiri.
bukan ini bukan yang kemarin, ini yang dulu. yang kemaren belum dapet fotonya :)
Honestly, saya tidak bisa berenang… oke saya terselamatkan oleh pelampung… tapi tetap saja saya minum air… air sungai yang berwarna coklat itu. Ohh yaiiks… kalau sekarang saya harus bayangkan, sya tidak percaya, saya telah-dengan-tidak-sengaja meminum air itu… bagaimana rasanya? Mantap!
Apalagi sepanjang pengarungan sebelum ditumpahkan ke sungai, banyak pemandangan di sekitar sungai yang tertangkap mata telanjang kami : orang mandi, tempat MCK tepat ditepi sungai, dan of course sampah-sampah! Saya benar-benar tidak menyangka akhirnya saya berenang bersama-sama dengan itu semua di sungai.
Oke well, saya sangat menyayangkan hal itu. Kapan sungai-sungai di Indonesia akan bersih seperti sungai Rheine atau sungai Thames? Susah memang mengubah kebiasaan hidup… seperti sudah membudaya, orang-orang mandi di sungai, buang hajat, buang air, buang sampah… hhm…
Dan pada suatu kuliah yang mmebahas tentang itu semua, akirnya terjadi diskusi panjang dan diambil kesimpulan sementara, kunci utamanya adalah kesadaran pribadi.
Tapi bagaimana suatu kesadaran pribadi bisa mengubah semuanya? Iya kalau setiap orang memiliki kesadaran pribadi yang sama, kalo tidak? Kalo anda berfikir, membuang sampah itu tidak baik bagi anda dan bagi sesama… itu kesadaran pribadi anda. Tapi apa jadinya kalau saya malah berfikir : saya buang sampah disungai tidak apalah, toh hanya sedikit… lagian soalnya kalau ikut iuran kebersihan mahal.
Ya, jatuhnya emang kesenangan pribadi… tipe orang yang berbeda. Memikirkan orang lain dan memikirkan kesenangan dirinya sendiri… jadi memang sebenarnya yangharus ditekankan adalah kesadaran kolektif… kesadaran bersama… ditetapkan apa yang harusnya menjadi misi, dan dijalankan bersama. Kalau perlu, bikin peraturan yang mengikat… peraturan bersama, kesepakatan… bukan peraturan hokum, karena sama aja hokum tidak terlalu ‘masuk’ didalam kehidupan masyarakat, terutama masyarakat tradisional… coba kalo sangsi. Sangsinya, yang membuang sampah di sungai, didenda… sepertinya orang-orang lebih mematuhi kesepakatan bersama daripada hokum yang berbelit… yah sepertinya begitu…
Memang susah membangun kesadaran kolektif ini… terutama bagi masyarakat kita…. Harus seperti apa? Well. Itu yang saya masih pikirkan… dan sepertinya jauh dari jangkauan. Yang saya tahu adalah saya tidak mau maen arung jeram lagi…
Tidak, terima kasih.
Minggu, 16 Mei 2010
belajar bermain api
Seperti apa saya belajar? Saat ini saya tengah belajar.
Saya adalah ‘murid’ dari kesalahan, saya mengambil pelajaran dari setiap apa yang menjadi kesalahan saya… dan disinilah saya, saat ini, tepat saat ini, saya sedang ‘belajar’… saya melakukan kesalahan besar, dan saya bermain api… saya pelaku eksperimen yang jahat dan membahayakan… bahkan sekarang –pada titik akhir- saya tidak tahu harus seperti apa menyudahi perjalanan pembelajaran saya di bab ini…
Saya analogikan seperti ini,
Saya adalah seorang anak kecil yang sama sekali belum p[ernah melihat langsung wujud api.
Pada suatu saat, teman sepermainan saya membawa korek api gas milik ayahnya, dan dia menunjukkannya kepada saya, teman saya juga belum pernah melihat api secara langsung selama hidupnya, maka kami berdua sama-sama penasaran dan ingin tahu bagaimana wujud api yang selalu ayah dan ibu kami nasehatkan kepada kami untuk sama sekali tidak bermain-main dengan api.
Kami tidak tahu bagaimana menghidupkan korek api itu, maka kami lempar-lemparkan ke tanah –dan sama sekali kami tidak tahu bahwa korek api itu bisa meledak jika dibanting—tidak menyala. Lalu kami meniup-niupnya, tidak menyala. Lalu dengan seksama, mata kami menyapu ke seluruh badan korek itu, dan ada tombol kecil disana… lalu saya tekan, dan burrrsst… menyala!
Hampir saja api itu mengenai mata saya. Tapi teman saya tidak seberuntung saya, jarinya tersambar api dan melukainya… saya yang melakukan, dan dia yang terluka! ya, dan akhirnya kami tahu bagaimana rupa api, bagaimana api ternyata bisa melukai dia, dan bagaimana kami akhirnya tersadar mengapa orang tua kami selalu dan selalu menasehati hal yang sama tentang bermain api…
Dan ya, memang lalu kami takut untuk bermain api lagi, hanya sekedar tahu bagaimana wujudnya, lalu rasa penasaran kami hilang setelah tahu dan terkena akibatnya. Ternyata api bukan untuk kami anak-anak kecil yang masih ceroboh dan selalu ingin tahu… ternyata memang kami harus menjauhi api.
Baguslah, sekarang kami akhirnya tahu. Walaupun masih tersisa luka bakar di jari teman saya itu, dan saya yakin pasti akan selalu ada bekas luka itu disana, tapi yang penting kami akhirnya tahu… kami akhirnya belajar. Suatu pembelajaran yang menyisakan bekas luka sampai nanti…
Lalu setelah kejadian itu, korek api itu masih saja ada disekitar area bermain kami, seperti selalu ‘mengajak bermain’ : dengan sedikit membakar-bakar kertas, atau hanya sekedar menyalakannya.
Tapi kami sama sekali enggan menyentuh lagi. Karena luka jari teman saya belum sembuh. Karena api bukan hal yang bagus untuk kami ajak bermain….
Haruskah membuat luka di jari yang tidak dapat hilang, hanya untuk mengetahui bahwa api itu ‘tidak baik’ untuk kami?
Saya adalah ‘murid’ dari kesalahan, saya mengambil pelajaran dari setiap apa yang menjadi kesalahan saya… dan disinilah saya, saat ini, tepat saat ini, saya sedang ‘belajar’… saya melakukan kesalahan besar, dan saya bermain api… saya pelaku eksperimen yang jahat dan membahayakan… bahkan sekarang –pada titik akhir- saya tidak tahu harus seperti apa menyudahi perjalanan pembelajaran saya di bab ini…
Saya analogikan seperti ini,
Saya adalah seorang anak kecil yang sama sekali belum p[ernah melihat langsung wujud api.
Pada suatu saat, teman sepermainan saya membawa korek api gas milik ayahnya, dan dia menunjukkannya kepada saya, teman saya juga belum pernah melihat api secara langsung selama hidupnya, maka kami berdua sama-sama penasaran dan ingin tahu bagaimana wujud api yang selalu ayah dan ibu kami nasehatkan kepada kami untuk sama sekali tidak bermain-main dengan api.
Kami tidak tahu bagaimana menghidupkan korek api itu, maka kami lempar-lemparkan ke tanah –dan sama sekali kami tidak tahu bahwa korek api itu bisa meledak jika dibanting—tidak menyala. Lalu kami meniup-niupnya, tidak menyala. Lalu dengan seksama, mata kami menyapu ke seluruh badan korek itu, dan ada tombol kecil disana… lalu saya tekan, dan burrrsst… menyala!
Hampir saja api itu mengenai mata saya. Tapi teman saya tidak seberuntung saya, jarinya tersambar api dan melukainya… saya yang melakukan, dan dia yang terluka! ya, dan akhirnya kami tahu bagaimana rupa api, bagaimana api ternyata bisa melukai dia, dan bagaimana kami akhirnya tersadar mengapa orang tua kami selalu dan selalu menasehati hal yang sama tentang bermain api…
Dan ya, memang lalu kami takut untuk bermain api lagi, hanya sekedar tahu bagaimana wujudnya, lalu rasa penasaran kami hilang setelah tahu dan terkena akibatnya. Ternyata api bukan untuk kami anak-anak kecil yang masih ceroboh dan selalu ingin tahu… ternyata memang kami harus menjauhi api.
Baguslah, sekarang kami akhirnya tahu. Walaupun masih tersisa luka bakar di jari teman saya itu, dan saya yakin pasti akan selalu ada bekas luka itu disana, tapi yang penting kami akhirnya tahu… kami akhirnya belajar. Suatu pembelajaran yang menyisakan bekas luka sampai nanti…
Lalu setelah kejadian itu, korek api itu masih saja ada disekitar area bermain kami, seperti selalu ‘mengajak bermain’ : dengan sedikit membakar-bakar kertas, atau hanya sekedar menyalakannya.
Tapi kami sama sekali enggan menyentuh lagi. Karena luka jari teman saya belum sembuh. Karena api bukan hal yang bagus untuk kami ajak bermain….
Haruskah membuat luka di jari yang tidak dapat hilang, hanya untuk mengetahui bahwa api itu ‘tidak baik’ untuk kami?
Jumat, 19 Maret 2010
labelling
Like father – like son
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.
Jujur, saya tidak tahu banyak soal gen bawaan, gen yang menurun, atau apalah itu… so then saya tidak akan berbicara tentang itu dan semacamnya.
Banyak orang bilang, “ pantas dia pintar, bapak ( atau ibunya ) juga pintar sih… “ atau,
“ wah, dia santun ya kaya ayahnya. “ atau celetukan apalah yang semacam itu…
Oke, ungkapan-ungkapan itu masih sangat bisa diterima. Yaa... dengan alasan apapun : gen-lah, didikan lah, bla bla bla. Lagian siapapun yang dibilang seperti itu, normalnya bangga kan? Bangga menjadi orang yang pintar, atau bangga menjadi orang yang santun, atau bangga memiliki ayah/ibu yang pintar atau santun... kan?
Tapi banyak juga pola pikir orang-orang yang kaya gini, ” ih... jangan dekat-dekat dia, ayahnya seorang pencuri! Siapa tau dia juga pencuri! ” atau,
” jangan sampe anak gadisku dekat-dekat dengan pemuda itu, ibunya kan suka selingkuh! Jangan-jangan nanti kalo anakku sama dia, sering ditinggal selingkuh juga! ”
Well, siapa yang mau dibilang seperti itu??
Saat kita ’diputuskan’ untuk hidup di dunia, kita ngga bisa milih tanggal berapa kita lahir, atau milih dilahirkan di keluarga miskin atau kaya, dan juga kita ngga bisa milih ke orang tua yang seperti apa... apakah mereka pencuri, pembohong, bodoh, dsb.... atau mereka yang pintar, santun, terhormat. Dsb. Ya, ya... kalaupun bisa milih pun kita akan memilih semaksimal mungkin... tapi, in fact, memang pilihan itu ngga pernah tersedia di depan kita....
Nah, kasian banget kita yang lahir ke orang tua yang ( kebetulan ) pembunuh, tukang selingkuh, pencuri, bla bla bla... kan? Kita lahir dengan label ’ anak (sebut saja ) pencuri ’... tanpa kita bisa menawarnya. Kita menjadi korban dari ’keputusan’ yang kita tidak pernah bisa ikut campur dalam pengambilan pilihannya.
Kenapa kita harus selalu menjadi proyeksi seperti apa orang tua kita berdiri?
Selalu ikut terlabeli pada hal-hal yang tidak seharusnya kita mendapatkannya?
Label-label itu, menyempitkan ruang eksistensi dan ruang kehendak kita sebagai mahluk bebas... kita jadi susah buat menunjukkan jati diri kita yang sebenarnya.
Yah, ngga akan pernah ada ujungnya jika selalu mempertanyakan rasa ’ketidak adilan karena tidak bisa memilih’ itu. Yang ada sekarang, adalah yang nyata. oke, jika ternyata kita ada di pihak yang ’unlucky’ itu, ngga ada gunanya meratapi... well, mungkin kita si ’unlucky’ tidak merasa orang tua kita membanggakan, tapi jadikan mereka ’guru’. Tanpa kata-kata, ambil pelajaran.
Labelling. Mungkin ngga semua dari kita merasakan,
Tapi itulah yang ada didalam kenyataan.
Sabtu, 06 Maret 2010
psst! don't wanna know
i'm, little admirer.
mencintai menunjukkan eksistensi, mengobyeksi orang lain.
dicintai, memposisikan kita menjadi obyek orang lain :
menghilangkan eksistensi diri.
lebih baik hanya merasakan...
..
Langganan:
Postingan (Atom)